Tasawuf oleh beberapa golongan
diidentikkan dengan keseriusan dalam beragama. Maksudnya adalah ketika
seseorang tengah tenggelam dalam keberagamaan yang begitu dalam, maka ia
disebut-sebut tengah berTasawuf. Padahal Tasawuf bukanlah hal yang mudah
dilakukan. Tasawuf menuntut kriteria-kriteria tersendiri untuk memasuki dunianya.
Perkembangan Tasawuf juga mengalami
beberapa fase. Awal mula Tasawuf muncul, ia dianggap sebagai ajaran yang tidak
sesuai dengan Islam. Indikasinya adalah ajaran Tasawuf diklaim sebagai sebuah
adat dari agama Kristen dan Budha[1],
sehingga Tasawuf dikatakan sebagai bid’ah. Pro-kontra pun tidak dapat dihindari
dalam menyikapi permasalahan Tasawuf.
Salah satu tokoh sufi yang menjadi
sorotan adalah seorang wanita yang bernama Rabiatul Adawiyah. Ia adalah sosok
wanita yang menjadi inspirator bagi mereka yang tengah melakukan suluk.[2]
Konsep Mahabbah yang dicetuskan oleh sebagian orang yang menekuni kisah
kehidupanya kini menjadi sebuah metode dalam rangka menggapai cinta ilahi yang
sebenarnya, yakni wujud penyatuan terhadap Sang Khaliq.[3]
Perjalanan kehidupan seorang Rabiatul Adawiyah yang begitu kompleks membawanya
menuju sebuah akhir yang indah, menemukan cinta ilahi yang tidak mudah
didapatkan oleh tiap-tiap muslim.
Konsep Mahabbah yang
dilatarbelakangi oleh kehidupan Rabiah Adawiyah menjadi bahan kajian baik dalam
dunia Barat maupun Timur. Pengkajiannya tidak dapat dilakukan secara
komprehensif mengingat perbedan masa yang begitu jauh. Faktor lainnya adalah
keterbatasan alat untuk menghimpun informasi yang berkembang pada saat
kehidupan Rabiah Adawiyah.
Konsep Mahabbah yang
merupakan salah satu suluk untuk menggapai cinta ilahi tidak dapat
begitu saja diterapkan. Perlu beberapa kajian terhadap konsep tersebut sehingga
didapati poin-poin penting pada konsep tersebut. Meskipun kajian yang dilakukan
tidak bisa secara komprehensif, setidaknya ada beberapa poin yang menjadi stressing
sehingga konsep Mahabbah dapat diterapkan sesuai dengan orientasi yang
terkandung didalamnya.
B.
Rumusan
masalah
Pemaparan latar belakang diatas memiliki beberapa poin permasalahan,
diantaranya:
1.
Bagaimanakah
konsep Mahabbah dari Rabiah al-Adawiyah ?
2.
Apakah
ciri-ciri konsep Mahabbah Rabiah al-Adawiyah ?
3.
Apa
saja proses untuk menuju Mahabbah Fillah menurut konsep Mahabbah
Rabiah al-Adawiyah ?
4.
Bagaimanakah
bentuk cinta kepada Allah yang sebenarnya ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Biografi
Dilahirkan dengan nama lengkap Ummul
Khayr binti Ismail Rabiah al-Adawiyah al-Basriyah[4],
beliau kemudian dikenal dengan sebutan Rabiah al-Adawiyah. Lahir pada tahun 95.H.
(714.M) di basrah dan tutup usia di Yerussalem pada tahun 185.H (796.M).[5] Sesuai
dengan namanya, beliau merupakan anak keempat dari empat bersaudara. Ia tumbuh
dalam kondisi ekonomi yang tidak memadai meski kondisi Basrah pada saat itu
dalam keadaan makmur, menjadi pusat perekonomian dan pusat ilmu pengetahuan.
Kehidupan keluarga Rabiah termasuk dalam kategori ketimpangan sosial yang
berbentuk kemiskinan dan kemelaratan.[6]
Rabi’ah hidup dalam kondisi keluarga
yang sangat religius. Ayahnya adalah seorang sufi yang bernama ismail. Ketika
malam kelahiran Rabiah, ia tidak memiliki minyak untuk penerangan dan kain
bedung untuk menyelimuti Rabiah nantinya. Istrinya memintanya untuk meminta
minyak kepada tetangganya. Namun sesuai dengan prinsip kesufiannya yang tidak
akan meminta kepada selain Allah, ia mengatakan bahwa tetangganya telah tidur,
kemudian ia bermimpi yang intinya ia akan memperoleh harta dari Amir kota
Basrah, karena dalam mimpinya ia bertemu Nabi SAW yang memerintahkannya untuk
menulis surat kepada Amir kota Basrah tersebut yang kemudian perintah
nabi tersebut ia utarakan pada Amir kota Basrah, ‘Isa Zadan.[7]
Cerita diatas juga merupakan sebuah
indikator yang menegaskan bahwa kehidupan Rabiah sejak kecil tidak pernah
tersentuh oleh barang-barang syubhat. Indikator lainnya adalah
ketidakinginan untuk merepotkan orang lain dengan tidak meminta kain bedung dan
minyak pada tetangganya. Lebih lanjut Nabi menjelaskan bahwa kelak Rabiah akan
menjadi wanita yang besar.[8]
Melihat hal demikian, maka
perjalanan Rabiah untuk menjadi seorang sufi tidaklah mustahil melihat darah
sufi yang mengalir ayahnya. Meski demikian, perjalanan Rabiah untuk menjadi
seorang sufi tidaklah didapat secara instan. Sebagaimana sufi lainnya, Rabiah
juga melalui beberapa tahapan untuk menapaki dunia sufi sebagaimana yang
dijalani oleh ayahnya.
B.
Perjalanan
Religius
1.
Masa
Kecil
Rabiah tumbuh sebagaimana anak-anak
sebayanya pada saat itu dalam kondisi keluarga yang Zuhud. Namun ada yang
membedakan antara Rabiah dengan teman-teman sebayanya. Ia terlihat lebih cerdas
dan lebih bersinar. Ia juga terlihat tumbuh lebih cepat karena ia terlihat
lebih dewasa dengan mengerti kondisi keluarganya dan tidak banyak menuntut dari
keluarganya.
Rabiah kecil sudah memulai menghafal
al-Quran sejak umur sepuluh tahun. Hal ini juga dilatarbelakangi oleh kesukaan Rabiah
untuk mengahafal. Ketika ia telah selesai menghafalnya, ia pun mengulangnya
dengan penuh kekhusyu’an.[9]
Tidak jarang pula ia terlihat termenung, mengasingkan diri serta selalu
beribadah layaknya sufi lainnya.
Rabiah tidak pernah duduk di bangku
pendidikan formal yang pada saat itu dikenal dengan kuttab. Rabiah
dididik langsung oleh ayahnya. Tujuannya adalah agar Rabiah tidak
terkontaminasi dengan hal-hal yang buruk, yang dapat menghambat pertumbuhan
kejiwaannya. Rabiah sering diajak oleh ayahnya menuju sebuah Mushalla dipinggiran
kota Basrah dengan tujuan menghindari polusi akhlak yang melanda Basrah ketika
itu. Kondisi demikian digunakan untuk selalu bermunajat kepada Allah.[10]
2.
Masa
Remaja
Pada masa ini Rabiah tidak
menjalaninya sebagaimana kaum remaja sebayanya. Ia harus kehilangan kedua orang
tuanya ketika ia baru menginjak masa remajanya. Kehilangan ayah sebagai tulang
punggung keluarga, kemudian disusul oleh ibunya tidak membuat ghirah
beribadah seorang Rabiah turun. Ia tetap konsisten dengan segala macam peribadatannya.
Padahal usia remaja adalah masa labil yang terjadi pada manusia. Namun itu tidak
terlihat sama sekali dari diri seorang Rabiah.[11]
Untuk menghidupi kesehariannya, Rabiah
dan ketiga kakaknya giat bekerja dengan menenun kain serta menawarkan bantuan
pada tiap-tiap rumah yang didatanginya. Namun hal yang perlu digaris bawahi
adalah bahwa kondisi tersebut tidak mengurangi aktifitas peribadatan Rabiah.
Kondisi tersebut justru menambah frekuensi serta kualitas ibadahnya.
Kondisi Basrah yang berkecamuk
akibat adanya pemberontakan antar golongan menyebabkan kondisi ekonomi yang
kian memburuk. Rabiah dan ketiga kakaknya memutuskan untuk mengembara hingga Rabiah
terpisah dari ketiga kakaknya dan akhirnya ia dijual sebagai budak oleh
perampok yang menculiknya hanya dengan harga enam dirham[12].
Kondisinya yang telah berubah menjadi
seorang budak, hidup penuh dengan siksaan dari tuannya, merubah kondisi
fisiknya menjadi kering kerontang. Ia hanya memiliki sepotong pakaian yang juga
dalam kondisi compang camping. Namun semangat ibadahnya tidak pernah pudar.
Istighfar dan dzikir selalu ia senandungkan bersamaan dengan ketabahan dan
kesabarannya.
Suatu saat ketika tuannya menyuruh Rabiah
untuk berbelanja, ia dihadang oleh penjahat yang kemudian ia terjerembab dan
tangannya pun patah akibat ushanya untuk melarikan diri dari kejaran perampok
tersebut. Hal itu membuatnya semakin menambah kualitas ibadahnya hingga suatu
malam tuannya melihat Rabiah sedang merintih seraya berdoa:
“Oh Tuhanku,
engkau mengetahui bahwa hatiku selalu mendambakan engkau dan benar-benar tunduk
pada perintahMu. Cahaya mataku mengabdi pada kerajaanMu, jika itu terserah
kepadamu, aku tak akan berhenti menyembahmu, walau barang sesaatpun. Namun
engkau telah membuatku tunduk kepada seorang makhluk, karena itu aku terlambat
datang dalam beribadah kepadaMu. ”[13]
Tuannya melihat sebuah lentera tergantung
diatas kepala Rabiah tanpa rantai yang cahayanya menerangi seluruh rumah ketika
Rabiah tengah bermunajat. Seketika tuannya kembali ke kamarnya dan termenung
hingga subuh tiba. Pada pagi hari ia membebaskan Rabiah dan memberikan pilihan
untuk tetap tinggal atau pergi, dan Rabiah memutuskan untuk pergi.[14]
Setelah terbebas, ia melanjutkan
kehidupannya sebagai seorang biduan. Dikatakan pula ia mahir memainkan seruling
dan tergabung dalam suatu grup musik. Namun Rabiah tidak menari dan tidak pula
bermain cinta.[15]
Pekerjaan ini ditekuninya hanya sebatas untuk menyambung hidup. Hal ini pada
satu sisi terlihat cinta pada dunia. Namun sisi lainnya Rabiah ingin mengabdi
pada Allah. Tak lama kemudian ia melepaskan pekerjaan tersebut.
3.
Masa
Dewasa
Sesuai keputusannya untuk mengabdi
kepada Allah, dalam kesehariannya ia hanya sibuk dengan ibadah. Tahajudnya
berakhir saat subuh menjelang. Pada fase ini, hatinya tidak tergoda lagi oleh
dunia. Dalam hatinya hanya ada rasa untuk beramal dengan tujuan ridla ilahi.
Bahkan selama 40 tahun ia tidak menghadapkan wajahnya kelangit karena malu
kepada Allah.[16]
Kezuhudannya sampai pada pilihan
untuk tidak menikah. Ia terkenal sebagai wanita yang cantik dan menarik.
Lamaran dari Abdul Wahid Ibnu Ziyad, orang yang terhormat dan berpengaruh pada
waktu itu ia tolak dengan perkataan “Hai orang yang bersyahwat, carilah
orang yang sepadan dengan engkau”. Demikian juga dengan Muhammad Sulaiman al-Hasyimi,
seorang Amir Basrah yang menawarkan mahar 100.000 dirham ia tolak dengan
perkataan “seandainya engkau memberi seluruh warisan hartamu, tidak mungkin
aku memalingkan perhatianku dari Allah padamu”.[17]
Alasan tentang prinsip Rabiah yang
tidak menikah tidaklah asing didengar. Alasan inilah yang diajukan oleh Rabiah
pada laki-laki yang melamarnya. Ada tiga alasan yang dikemukakan Rabiah tentang
penolakannya untuk menikah, yaitu:[18]
1.
Saat
meninggal dunia, akankah ia menghadap Allah dalam keadaan iman, suci atau tidak
?
2.
Saat
menerima catatan amal, tangan mana yang akan menerimanya, kanan ataukah kiri ?
3.
Ketika
hari kebangkitan, apakah ia termasuk golongan kanan yang masuk surga atau
golongan kiri yang masuk neraka ?
Pertanyaan diatas tentu bukan ranah
manusia sebab itu adalah bentuk kuasa Allah. Alasan lainnya adalah ia takut
tidak dapat berbuat adil untuk suami dan anaknya kelak sebab cintanya hanya
tercurahkan pada Allah. Pilihannya untuk tidak menikah memang hampir sama
dengan ajaran kependetaan yang tidak menikah. Namun ini dikembalikan pada hukum
menikah yang awalnya adalah boleh atau dianjurkan.
Kembali kekeharibaan Allah dalam
usia kira-kira 90 tahun, merupakan sebuah anugrah dari Allah untuk bisa
menyebarkan perjalanan bathinnya pada orang lain. Sesaat sebelum kepergiannya,
ia berkata “Wahai jiwa yang damai, kembalilah pada Tuhanmu dengan bahagia”.
Hal ini sesuai dengan surat al-Fajr ayat 27-30.
C.
Kondisi
Psikis dan Lingkungan
Sebagaimana dijelaskan pada
pembahasan sebelumnya, Rabiah Adawiyah hidup dalam kondisi keluarga yang sufi,
terutama didikan dari ayahnya. Sejak menjelang kelahirannya, ia telah
dihadapkan akan sebuah pilihan yang bertolak belakang dengan konsep sufi
ayahnya. Namun hal itu dapat dilalui dengan begitu baik.
Masa kecil yang dibiasakan untuk
beribadah, kemudian kehilangan orang tua dalam usia muda, menjadi budak, hingga
akhirnya lepas dari segala macam bentuk penderitaan adalah sebuah bentuk
tekanan secara psikis. Namun Rabiah dapat melalui itu semua dengan rasa
cintanya kepada Allah sehingga tidak ada sedikitpun rasa keluh kesah akan
segala masalah yang dihadapi, melainkan menjadi sebuah motivator bagi
ibadahnya.
Kondisi psikis yang demikian tentu
menjadi sebuah tekanan tersendiri bagi manusia secara umum dan kaum wanita pada
khususnya. Kondisi psikis memiliki dampak yang begitu besar bagi siapapun. Bagi
Rabiah, segala macam bentuk tekanan psikis tersebut menjadi sebuah motivator
bagi kegiatan ibadahnya.
Demikian halnya dengan kondisi
disekitarnya. Basrah yang terkenal sebagai pusat ekonomi serta perkembangan
ilmu pengetahuan tidak memiliki dampak apapun bagi Rabiah. Kebiasaan yang
ditularkan ayahnya membuatnya tumbuh dengan cepat, menjadi dewasa dalam aspek
pemikiran dan tingkah lakunya. Perilaku dan tindak tanduk penduduk Basrah pada
waktu itu pun tidak sedikitpun mempengaruhi akhlak seorang Rabiah, apalagi
dalam hal kualitas peribadatannya.
BAB III
KONSEP MAHABBAH
A.
Pengertian
Rabiah tidak mendefiniskan tentang
konsep Mahabbah. Ia hanya mendeskripsikan tentang Mahabbah. Namun
Prof. Dr. Hamka menyebutkan bahwa Mahabbah yang dibawa oleh Rabiah
adalah sebuah penyempurnaan dari bentuk Zuhud yang ditawarkan oleh Hasan al-Bashri,
yakni khauf dan raja’.[19] Rabiah
kemudian menyempurnakannya menjadi Mahabbah, konsepsi yang menyatakan
bahwa tidak ada harapan apapun dari bentuk cinta kepada Allah.
Dalam perkembangannya, Mahabbah
yang diprakarsai oleh Rabiah adalah sebuah suluk untuk menuju ma’rifatullah,
sebuah posisi yang paling tinggi dalam tingkatan iman kepada Allah. Deskripsi
tentang Mahabbah yang dibawa oleh Rabiah adalah sebuah metode suluk yang
mengedepankan cinta sebagai sebuah jalan untuk menuju Allah. Mahabbah
yang dibawa oleh Rabiah bukanlah Mahabbah dalam konteks kemanusiaan,
namun konteks ketuhanan.
B.
Teori
Konsep Mahabbah
Dalam perjalanan rohani yang dilalui
oleh Rabiah, ada beberapa tahapan yang perlu untuk diketahui hingga Rabiah
mampu meraih cinta ilahi yang didambakan oleh setiap muslim. Tasawuf mengenal
empat macam gradasi dalam termnya tersendiri, yaitu syari’at, thariqat, hakikat
dan ma’rifat. Keempat macam tingkatan ini tentu telah dicapai oleh Rabiah
sehingga ia dan cintanya hanya tertuju pada Allah semata.
Syari’at telah dilalui dengan sangat
baik pada masa kecil hingga remaja. Kemudian tingkat thariqat hingga hakikat ia
lalui pada masa dewasa hingga menjelang masa tuanya. Tingkat ma’rifat ia capai
setelah ia benar-benar memutuskan untuk meninggalkan hingar bingar dunia dengan
rasa cintanya kepada Allah yang tak terbendung.
Konsep Mahabbah Rabiah
memiliki stressing pada kata cinta. Cinta menurut Rabiah adalah perasaan
kemanusiaan yang amat luhur, amat mulia dan agung, cinta yang dapat mengatasi
hawa nafsu yang rendah, cinta yang dilandasi iman yang tulus ikhlas sehingga
mampu membawa derajat manusia menuju ridla ilahi.[20]
Makin dalam cinta seseorang maka seakan-akan tidak ada lagi ruang untuk cinta
yang lain kecuali hanya untuk Allah.
Manusia secara lahiriah tentu
memiliki rasa rindu. Ada yang biasa dan ada pula yang menggebu-gebu. Manusia
mengungkapkan rasa rindu tentu dengan berbagai cara. Saat ini begitu banyak
media yang digunakan untuk melampiaskan rasa rindu. Rabiah mengungkapkan
kerinduannya pada Allah dengan membuat syair-syair yang begitu indah pada Allah.
M. Iqbal mengatakan, hanya rasa rindu yang mampu memancing kreatifitas
seseorang untuk mencipta hal-hal yang indah, termasuk juga syair-syair yang telah
diciptakan oleh rabi’ah.[21]
C.
Aplikasi
Konsep Mahabbah
Langkah awal Rabiah dalam mengarungi
dunia adalah dengan Zuhud, sebagaimana yang dialaminya saat ia akan lahir, Ismail
sang ayah yang tidak mau meminta minyak untuk penerangan rumahnya ketika Rabiah
akan lahir. Ismail hanya berharap bantuan Allah, bukan dari manusia. Kemudian Rabiah
kecil yang tidak pernah menuntut apapun yang bersifat keduniawiaan pada
keluarganya. Terlebih ayahnya selalu mengajak Rabiah untuk selalu beribadah
tanpa menghiraukan masalah keduniawiaan.[22]
Benih-benih Zuhud yang telah
tertanam pada Rabiah sejak masa kecilnya sedikit demi sedikit berkembang hingga
ia mampu mengontrol keduniawiaannya. Namun sebagaimana manusia lainnya ia juga
melalui proses ibadah (syariah) sebelum ia mencapai tingkatan Zuhud.
Proses-proses yang dilalui pada masa Zuhud mengantarkannya pada tingkat ridla
yang kemudian berakhir pada tingkat hubb ilallah atau Mahabbah Fillah.[23]
Melihat teks diatas, maka aplikasi
konsep Mahabbah yang diciptakan oleh Rabiah membutuhkan sebuah
pembiasaan. Mencintai tidak semudah mengatakan aku cinta, tapi harus melalui
beberapa tahapan sehingga saat mengatakan aku cinta tidak ada lagi tendensi
dari hal apapun kecuali cinta yang tulus kepada Allah. Cinta yang timbul
sebagai akhlak, bukan sebagai etika.
Apabila ibadah yang telah
dilaksanakan berjalan dengan baik, maka rasa kerinduan pada Allah akan muncul
secara otomatis ketika seseorang berada dalam keadaan jatuh cinta pada Tuhannya.
Perasaan cinta yang ada tidaklah memiliki konsekuensi apapun atau tendensi
apapun kecuali hanya sebuah bentuk kepasrahan pada Allah atas segala cinta yang
dimiliki.
D.
Kiat-Kiat
Mencintai Allah
Abdul
Mustaqim dalam bukunya “Akhlaq Tasawuf; Jalan Menuju Revolusi Spiritual”
mengungkapkan ada tiga hal yang perlu ditempuh untuk mendapatkan cinta ilahi.[24]
Pertama , menumbuhkan cinta dengan benar-benar beriman kepada Allah. Cinta akan
tumbuh dari rasa percaya (iman) sebagai benih dari cinta tersebut.
Kedua,
ma’rifatullah dengan sebenar-benar ma’rifat. Saat seseorang benar-benar tahu
akan kekuasaan Allah, maka secara refleks peribadatannya akan mengalami
peningkatan baik dari aspek kualitas maupun kuantitas. Ketiga, menebarkan cinta
secara vertikal sehingga secara horizontalpun akan muncul dengan sendirinya.
BAB IV
PENUTUP
A.
Penutup
Setiap manusia tentu ingin bertemu
dengan Tuhannya, sebagaimana yang telah dilalui oleh Rabiah. Bertemu dengan Tuhan
bukanlah hal yang mudah, melainkan harus melalui beberapa tahap hingga ia
mencapai ma’rifatullah, sebuah gradasi tertinggi dalam tingkatan iman seseorang
setelah ia melalui gradasi syariah, thariqat dan hakikat.
Rabiah mencapai tingkatan ma’rifat
dengan Mahabbahnya, sebuah metode menuju ilahi dengan mencintai Allah
tanpa mengharap apapun dari perasaan cintanya kepada Allah. Manusia, jika mencintai
sesuatu atau seseorang tentu mengharapkan adanya timbal balik dari sesuatu atau
seseorang yang dicintainya. Jika ia mencintai seseorang, tentu ia ingin yang
dicintainya memberikan cintanya kepada dirinya. Tapi hal ini tidak berlaku bagi
seorang Rabiah yang tidak menginginkan apapun dari rasa cintanya kepada Allah.
Memaknai cinta tidak bisa hanya
dilihat dari satu sisi saja. Cinta yang murni tidak memperdulikan segala hal
yang ada disekitarnya. Sebenar-benar cinta adalah kesediaan untuk memberi,
bukan keinginan untuk menerima, kesediaan untuk memahami, bukan untuk dipahami,
kesediaan untuk berkorban bukan menanti pengorbanan. Demikianlah cinta yang
ingin diungkapkan oleh Rabiah kepada generasi setelahnya untuk mencapai hubb ilallah.
B.
Kesimpulan
Paparan
diatas setidaknya memiliki beberapa poin penting, diantaranya:
1.
Konsep
Mahabbah yang diprakarsai oleh Rabiah al-Adawiyah adalah sebuah proses
menuju cinta ilahi yang sebenar-benar cinta, yang tidak ada cinta apapun
kecuali hanya cinta kepada Allah, dzat yang paling pantas untuk menerima cinta
yang murni tanpa ada tendensi apapun.
2.
Konsep
Mahabbah Rabiah al-Adawiyah adalah puncak dari pengungkapan cinta ilahi,
yakni cinta yang tidak menuntut apapun dari yang dicintai, menghamba pada yang
dicinta, pasrah terhadap segala hal yang telah diberikan kepada yang dicintai.
3.
Rabiah
al-Adawiyah melalui beberapa tahapan untuk menuju Mahabbah fillah, dari
proses ibadah, Zuhud hingga ia duduk pada maqam ma’rifat dengan Mahabbah
Fillah yang ia ciptakan melalui pengalaman rohaninya.
4.
Mahabbah Fillah yang sebenarnya adalah keadaan seseorang yang sangat
rindu akan kehadiran Allah disetiap waktunya. Kerinduan yang dialaminya adalah
dampak dari rasa cintanya kepada Allah, seakan-akan tidak ada waktu kecuali
hanya untuk beribadah kepada Allah. Hanya Allah yang menjadi tujuan hidupnya.
DAFTAR PUSTAKA
al-Aththar, Fariduddin.Tadzkirah
al-Auliya’.Terj. Anas Mahyuddin.Bandung: Pustaka. 1983
Hamka, Prof. Dr.Tasauf; Perkembangan
dan Pemurniannya.Jakarta: PT Pustaka Panjimas.1984
Hassan Shadily
dkk.Ensiklopedi Indonesia Jilid 6.Jakarta: Ichtiar Baru-van Hoeve.1984
Khamis, Muhammad
Athiyah.Rabiah el-Adawiyah: Penyair Wanita Sufi.Terj. Drs. Aliyuddin
Mahjudin, M.A.Jakarta: Pustaka Firdaus.1994
Mustaqim, M.A,
Abdul Dr. H.Akhlaq Tasawuf; Jalan Menuju Revolusi Spritual. Yogyakarta:
Kreasi Wacana.2007
Smith, Margareth,
M.A., Ph.D.Rabiah Pergulatan Spiritual Perempuan.Terj. Dra. Jamilah Baraja.Surabaya:
Risalah Gusti.1999
Sururin, M.Ag,,Rabiah
al-Adawiyah Hubb al-Ilahi; Evolusi Jiwa Manusia Menuju Mahabbah dan Makrifah.Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada.2000
[1] Prof. Dr. Hamka, Tasauf; Perkembangan dan
Pemurniannya, (Jakarta: PT Pustaka Panjimas, 1984), hlm. 45-54
[2] Dalam perkembangannya, suluk lebih
diartikan sebagai bentuk perjalan rohani seseorang untuk menuju ma’rifatullah
[3]
Margareth smith, m.a., p.hd, Rabiah pergulatan spiritual perempuan, terj. Dra.
Jamilah baraja, (Surabaya; risalah gusti, 1999), hlm. 3
[4]
Hassan Shadily dkk., Ensiklopedi Indonesia, Jilid 6, (Jakarta: Ichtiar
Baru-van Hoeve, 1984), h.2819. Sedangkan menurut A. Hafizh Dasuki dkk., loc. cit.,
Rabi’ah binti Isma’il al-Adawiyyah al-Qissiyah, Harun Nasution dkk., loc. cit.,
Rabi’ah binti Ismail al-Adawiyah al-Basriyah, Abu al-Wafa` al-Ghanimi
al-Taftazani, terj. Ahmad Rofi’ ‘Utsmani, Sufi dari Zaman ke Zaman, (Bandung:
Pustaka, 1406 H/1985 M, h. 82, Ummul Khair Rabi’ah binti Isma`il al-Adawiyyah
al-Qisiyyah.
[5]
Sururinn, M.Ag, Rabiah al-Adawiyah Hubb al-Ilahi; Evolusi Jiwa Manusia
Menuju Mahabbah dan Makrifah, (Jakarta: pt raja grafindo persada, 2000)
hlm. 4
[6]
Sururinn, hlm 4
[7]
Margaret Smith, M.A., Ph.D, Rabiah Pergulatan Spiritual
Perempuan, Terj. Dra. Jamilah Baraja, (Surabaya: Risalah Gusti, 1999)
hlm 6. Isa Zadan adalah amir yang selalu membaca shalawat sebanyak 400 kali
setiap malam Jumat. Namun waktu itu ia alpa dan Nabi SAW mengisyaratkan untuk
membayar kafarat kepada ayah Rabi’ah.
[8]
Sururin, hlm 22
[9]
Muhammad Athiyah Khamis, Rabiah al-Adawiyah; Penyair Wanita Sufi,
Terj. Drs. Aliudin Mahjudin, MA. (Jakarta: pustaka firdaus, 1994) hlm.9
[10]
Sururin, hlm. 26
[11]
Sururin, hlm 27
[12]
Fariduddin al-Aththar, Tadzkirah al-Auliya’, Terj. Anas Mahyuddin, (Bandung;
Pustaka, 1983), hlm. 50
[13]
Sururin, hlm. 35. Lihat juga al-Aththar, hlm 51 dan Athiyah hlm. 18-19.
[14]
Sururin, hlm. 35
[15] Sururinn,
hlm. 36
[16]
Sururin, hlm. 39
[17]
Sururin, hlm. 39
[18]
Al-Aththar, 90
[19]
Hamka, hlm. 79
[20]
Muhammad athiyah khamis, Rabiah el-Adawiyah; penyair wanita sufi, terj. Drs.
Aliyuddin mahjudin, ma, (pustaka firdaus, 1994), hlm. 53
[21]
Sururin, hlm. 50
[22]
Suatu ketika saat Rabiah dan keluarganya akan makan, Rabiah menatap ayahnya seakan
bertanya akan makanan yang terhidang. Rabiah berkata pada ayahnya, bahwa ia
tidak mau makanan yang haram. Ayahnya bertanya pada Rabiah, bagaimana jika
nanti yang ada hanya makanan yang haram ?, Rabiah pun menjawab; lebihbaik kita
menahan lapar di dunia ini daripada menahannya nanti dineraka. Inilah langkah
awal sejak kecil seorang Rabiah untuk Zuhud. Athiyah, hlm. 8
[23] Sururin,
hlm. 48-49
[24]
Dr. H. Abdul Mustaqim, M.A, Akhlaq Tasawuf; Jalan Menuju Revolusi Spritual,
(Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2007), hlm. 19-21
0 komentar:
Posting Komentar