Pondok Pesantren Binaul Muhajirin

membentuk generasi yang berakhlaqul karimah

Pondok Pesantren Binaul Muhajirin

membentuk generasi yang berakhlaqul karimah

Pondok Pesantren Binaul Muhajirin

membentuk generasi yang berakhlaqul karimah

Pondok Pesantren Binaul Muhajirin

membentuk generasi yang berakhlaqul karimah

Pondok Pesantren Binaul Muhajirin

membentuk generasi yang berakhlaqul karimah

PINTU GERBANG PANDANGAN AL-QUR’AN AKAN SURGA



Taj Mahal
 1636 


  1. Monumen mughal yang terbuat dari marmer , menurut sebuah buku mantra  merupakan pintu kematian.
  2.  Ketika Arjuman banu begam meninggal, dia membawa serta cahaya kehidupan suaminya shah jahan. Arjuman banu dikenal sebagai mumtaz mahal karena dimata suaminya dia memang Mumtaz mahal (tempat terpilih)
  3. Merka bertemu pertama kali di pengadilan mughal yang terletak di Agra. Dia datang atas undangan kakeknya yang juga sebagai perdana mentri ayah dari shah jahan. Yaitu kaisar jahangir. Pangeran muda ketika itu tertari akan kecantikan putri, mereka bertunangan pada tahun 1607 dan menikah pada tahun 1612. Meskipun dia memiliki 2 istri yang lain dia hanya memperoleh satu keturunan dari istri yang lain. Mumtaz mahal melahirkan 14 anak dan hanya 7 yang hidup. 4 diantaranya laki2 dan salah satu dari mereka kelak akan menggantikan ayahnya dia adalah Awrangzeb. Mumtaz mahal meningggal pada tahun 1631 ketika melahirkan anak ke 14.
  4. Ketika sedang menjalani tugas militer shah jahan tidak dapat berada disisihnya. Kebahagiaan selama 25 tahun telah sirna, berganti dengan kesedihan, sebuah lubang dihatinya. Untuk menghormati kematian wanita yang telah menjadi pusat hidupnya, dia berjanji untuk mendirikan sebuah monumen yang bisa menunjukan besarnya permohonan kepada yang kuasa agar menyatukan jiwa mereka kelak sampai hari kiamat. 
  5. Pengorbanan yang tak terhingga telah dicurahkan untuk membangun monumen ini , dimulai tahun 1632, taj mahal sudah ditempatkan pada komplek air mancur, pohon-pohonan, gerbang dan masjid , jalan dan tembok yang mengelilingi 42 Acre (1=4840 yar, persegi = 0’4646 ha) sekitar 21 h. ditepi sungi Jumna dekat benteng merah. Yang melindungi ibukota agra. Dan ini selesai dibangung pada tahun 1636. Sangat mengherankan bangunan sebesar ini rampung dalam waktu 4 tahun. Ribuan blok batu marmer telah disusun kemudian di ukir  dengan detail yang rumit. Dengan pintu masuk yang sangt besar dan mempunyai rute jalang yang mengagumkan . disana juga ada tulisan kaligrafi, beberapa diantaranya berbahasa persia namun kebanyakan berbahasa arab. Dan dikutp dari Al-Qur’an. 
  6. Bagi kaisar Arti dari Tajmahal adalah tidak dapat dipisahkan dari buku mantra ini tercermin dari setiap detil yang terdapat dimakam. Disana terdapat banyak penyebutan ayat al-Quran dibandingkan dengan komplek pemakaman muslim yang lain. Meskipun kebanyakan pengunjung tidak pernah membaca ayat-ayat tersebut.. tetapi mereka merasa menyatu dengan kesedihan sang kaisar
  7. Makam dari sang putri terletak di ujung taman yang indah. Bentuk kebun seperti kebanyakan taman pemakaman lainya. Dan itu memberikan kesan taman surgawi yang membuat bahagia. Dan menggambarkan  disain taman surga di akhirat. Paling tidak melalui tajmahal kita dapat melihat cerminan surga dibumi sebagaiman yang digambarkan dalam Al-Qur’an. Tajhmahal merupakan merupakan replika surga tetapi bukan surga. Karena tajmahal hanyalah surga sgbaiman yang di gambarkan Ibnu A’raby.
  8. Ibnu Arabi tidak pernah bepergian keluar afrika selatan, syiria dan arab. Menurut dia surga adalah tempat yang sangt luas dan indah, ditengahnya terdapat singgahsana yang sangat meggah yang ditopang oleh 4 malaikat. Dan ini merupakan keinginan setiap makhluk dimuka bumi untuk mencapai, mencerminkan tingginya keagungan singgahsana tersebut dan tajmahal sudah memenuhi keinginan tersebut. Tajmahal juga didirikan diatas tanah yang luas dan indah dan dikelilingi oleh 4 menara. 
  9. Kesempurnaan menurut arabi tidak berdiri sendiri dan terdiri dari satu dimensi  akan tetapi harus disertai unsur-2 lain.
  10. Pandangan alquran bahwa tajmahal diberitakan adalah faktok eksternal. Sebagai satu pintu masuk melalui melalui gerbang  bangunan bagian selatan. Sebagaiman di ungkapkan dalam surat  ke 89, 27-30 kiamat » yang menggambarkan kepalsuan.
    Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama'ah hamba-hamba-Ku, masuklah ke dalam syurga-Ku

  11. Tema yang sama ada digerbang bagian utara  yang merupakan gabungan dari 3 ayat pendek yang disebutkan berturut2 : 93
    1. 1. demi waktu matahari sepenggalahan naik,
      2. dan demi malam apabila telah sunyi (gelap),
      3. Tuhanmu tiada meninggalkan kamu dan tiada (pula) benci kepadamu
      4. dan Sesungguhnya hari kemudian itu lebih baik bagimu daripada yang sekarang (permulaan)
      5. dan kelak Tuhanmu pasti memberikan karunia-Nya kepadamu , lalu (hati) kamu menjadi puas.
      6. Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu?
      7. dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberikan petunjuk.
      8. dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan.
      9. sebab itu, terhadap anak yatim janganlah kamu Berlaku sewenang-wenang.
      10. dan terhadap orang yang minta-minta, janganlah kamu menghardiknya.
      11. dan terhadap nikmat Tuhanmu, Maka hendaklah kamu siarkan.

     
h.       
i.         
j.        
k.      

Hakikat Cinta ( Dibalik Cinta Rabi'ah Al-Adawiyyah dialam Cinta Tertinggi )

Tasawuf belakangan ini menjadi sebuah “tren” baru dalam kehidupan beragama. Tasawuf seakan menjadi “oase” dalam kehidupan dunia yang dirasakan oleh banyak orang penuh akan keduniawiaan belaka. Lebih umum lagi, agama baru akan “digunakan” ketika seseorang merasakan kejenuhan dalam kehidupan dunianya. Agama terlihat sebagai tempat pelarian, bukan menjadi pedoman sebagaimana yang diorientasikan oleh agama.
Tasawuf oleh beberapa golongan diidentikkan dengan keseriusan dalam beragama. Maksudnya adalah ketika seseorang tengah tenggelam dalam keberagamaan yang begitu dalam, maka ia disebut-sebut tengah berTasawuf. Padahal Tasawuf bukanlah hal yang mudah dilakukan. Tasawuf menuntut kriteria-kriteria tersendiri untuk memasuki dunianya.
Perkembangan Tasawuf juga mengalami beberapa fase. Awal mula Tasawuf muncul, ia dianggap sebagai ajaran yang tidak sesuai dengan Islam. Indikasinya adalah ajaran Tasawuf diklaim sebagai sebuah adat dari agama Kristen dan Budha[1], sehingga Tasawuf dikatakan sebagai bid’ah. Pro-kontra pun tidak dapat dihindari dalam menyikapi permasalahan Tasawuf.
Salah satu tokoh sufi yang menjadi sorotan adalah seorang wanita yang bernama Rabiatul Adawiyah. Ia adalah sosok wanita yang menjadi inspirator bagi mereka yang tengah melakukan suluk.[2] Konsep Mahabbah yang dicetuskan oleh sebagian orang yang menekuni kisah kehidupanya kini menjadi sebuah metode dalam rangka menggapai cinta ilahi yang sebenarnya, yakni wujud penyatuan terhadap Sang Khaliq.[3] Perjalanan kehidupan seorang Rabiatul Adawiyah yang begitu kompleks membawanya menuju sebuah akhir yang indah, menemukan cinta ilahi yang tidak mudah didapatkan oleh tiap-tiap muslim.
Konsep Mahabbah yang dilatarbelakangi oleh kehidupan Rabiah Adawiyah menjadi bahan kajian baik dalam dunia Barat maupun Timur. Pengkajiannya tidak dapat dilakukan secara komprehensif mengingat perbedan masa yang begitu jauh. Faktor lainnya adalah keterbatasan alat untuk menghimpun informasi yang berkembang pada saat kehidupan Rabiah Adawiyah.
Konsep Mahabbah yang merupakan salah satu suluk untuk menggapai cinta ilahi tidak dapat begitu saja diterapkan. Perlu beberapa kajian terhadap konsep tersebut sehingga didapati poin-poin penting pada konsep tersebut. Meskipun kajian yang dilakukan tidak bisa secara komprehensif, setidaknya ada beberapa poin yang menjadi stressing sehingga konsep Mahabbah dapat diterapkan sesuai dengan orientasi yang terkandung didalamnya.
        
B.   Rumusan masalah
Pemaparan latar belakang diatas  memiliki beberapa poin permasalahan, diantaranya:
1.    Bagaimanakah konsep Mahabbah dari Rabiah al-Adawiyah ?
2.    Apakah ciri-ciri konsep Mahabbah Rabiah al-Adawiyah ?
3.    Apa saja proses untuk menuju Mahabbah Fillah menurut konsep Mahabbah Rabiah al-Adawiyah ?
4.    Bagaimanakah bentuk cinta kepada Allah yang sebenarnya ?



BAB II
PEMBAHASAN

A.  Biografi
Dilahirkan dengan nama lengkap Ummul Khayr binti Ismail Rabiah al-Adawiyah al-Basriyah[4], beliau kemudian dikenal dengan sebutan Rabiah al-Adawiyah. Lahir pada tahun 95.H. (714.M) di basrah dan tutup usia di Yerussalem pada tahun 185.H (796.M).[5] Sesuai dengan namanya, beliau merupakan anak keempat dari empat bersaudara. Ia tumbuh dalam kondisi ekonomi yang tidak memadai meski kondisi Basrah pada saat itu dalam keadaan makmur, menjadi pusat perekonomian dan pusat ilmu pengetahuan. Kehidupan keluarga Rabiah termasuk dalam kategori ketimpangan sosial yang berbentuk kemiskinan dan kemelaratan.[6]
Rabi’ah hidup dalam kondisi keluarga yang sangat religius. Ayahnya adalah seorang sufi yang bernama ismail. Ketika malam kelahiran Rabiah, ia tidak memiliki minyak untuk penerangan dan kain bedung untuk menyelimuti Rabiah nantinya. Istrinya memintanya untuk meminta minyak kepada tetangganya. Namun sesuai dengan prinsip kesufiannya yang tidak akan meminta kepada selain Allah, ia mengatakan bahwa tetangganya telah tidur, kemudian ia bermimpi yang intinya ia akan memperoleh harta dari Amir kota Basrah, karena dalam mimpinya ia bertemu Nabi SAW yang memerintahkannya untuk menulis surat kepada Amir kota Basrah tersebut yang kemudian perintah nabi tersebut ia utarakan pada Amir kota Basrah, ‘Isa Zadan.[7]
Cerita diatas juga merupakan sebuah indikator yang menegaskan bahwa kehidupan Rabiah sejak kecil tidak pernah tersentuh oleh barang-barang syubhat. Indikator lainnya adalah ketidakinginan untuk merepotkan orang lain dengan tidak meminta kain bedung dan minyak pada tetangganya. Lebih lanjut Nabi menjelaskan bahwa kelak Rabiah akan menjadi wanita yang besar.[8] 
Melihat hal demikian, maka perjalanan Rabiah untuk menjadi seorang sufi tidaklah mustahil melihat darah sufi yang mengalir ayahnya. Meski demikian, perjalanan Rabiah untuk menjadi seorang sufi tidaklah didapat secara instan. Sebagaimana sufi lainnya, Rabiah juga melalui beberapa tahapan untuk menapaki dunia sufi sebagaimana yang dijalani oleh ayahnya.

B.   Perjalanan Religius
1.    Masa Kecil
Rabiah tumbuh sebagaimana anak-anak sebayanya pada saat itu dalam kondisi keluarga yang Zuhud. Namun ada yang membedakan antara Rabiah dengan teman-teman sebayanya. Ia terlihat lebih cerdas dan lebih bersinar. Ia juga terlihat tumbuh lebih cepat karena ia terlihat lebih dewasa dengan mengerti kondisi keluarganya dan tidak banyak menuntut dari keluarganya.
Rabiah kecil sudah memulai menghafal al-Quran sejak umur sepuluh tahun. Hal ini juga dilatarbelakangi oleh kesukaan Rabiah untuk mengahafal. Ketika ia telah selesai menghafalnya, ia pun mengulangnya dengan penuh kekhusyu’an.[9] Tidak jarang pula ia terlihat termenung, mengasingkan diri serta selalu beribadah layaknya sufi lainnya.
Rabiah tidak pernah duduk di bangku pendidikan formal yang pada saat itu dikenal dengan kuttab. Rabiah dididik langsung oleh ayahnya. Tujuannya adalah agar Rabiah tidak terkontaminasi dengan hal-hal yang buruk, yang dapat menghambat pertumbuhan kejiwaannya. Rabiah sering diajak oleh ayahnya menuju sebuah Mushalla dipinggiran kota Basrah dengan tujuan menghindari polusi akhlak yang melanda Basrah ketika itu. Kondisi demikian digunakan untuk selalu bermunajat kepada Allah.[10]  
2.    Masa Remaja
Pada masa ini Rabiah tidak menjalaninya sebagaimana kaum remaja sebayanya. Ia harus kehilangan kedua orang tuanya ketika ia baru menginjak masa remajanya. Kehilangan ayah sebagai tulang punggung keluarga, kemudian disusul oleh ibunya tidak membuat ghirah beribadah seorang Rabiah turun. Ia tetap konsisten dengan segala macam peribadatannya. Padahal usia remaja adalah masa labil yang terjadi pada manusia. Namun itu tidak terlihat sama sekali dari diri seorang Rabiah.[11]
Untuk menghidupi kesehariannya, Rabiah dan ketiga kakaknya giat bekerja dengan menenun kain serta menawarkan bantuan pada tiap-tiap rumah yang didatanginya. Namun hal yang perlu digaris bawahi adalah bahwa kondisi tersebut tidak mengurangi aktifitas peribadatan Rabiah. Kondisi tersebut justru menambah frekuensi serta kualitas ibadahnya.
Kondisi Basrah yang berkecamuk akibat adanya pemberontakan antar golongan menyebabkan kondisi ekonomi yang kian memburuk. Rabiah dan ketiga kakaknya memutuskan untuk mengembara hingga Rabiah terpisah dari ketiga kakaknya dan akhirnya ia dijual sebagai budak oleh perampok yang menculiknya hanya dengan harga enam dirham[12].
Kondisinya yang telah berubah menjadi seorang budak, hidup penuh dengan siksaan dari tuannya, merubah kondisi fisiknya menjadi kering kerontang. Ia hanya memiliki sepotong pakaian yang juga dalam kondisi compang camping. Namun semangat ibadahnya tidak pernah pudar. Istighfar dan dzikir selalu ia senandungkan bersamaan dengan ketabahan dan kesabarannya.
Suatu saat ketika tuannya menyuruh Rabiah untuk berbelanja, ia dihadang oleh penjahat yang kemudian ia terjerembab dan tangannya pun patah akibat ushanya untuk melarikan diri dari kejaran perampok tersebut. Hal itu membuatnya semakin menambah kualitas ibadahnya hingga suatu malam tuannya melihat Rabiah sedang merintih seraya berdoa:
Oh Tuhanku, engkau mengetahui bahwa hatiku selalu mendambakan engkau dan benar-benar tunduk pada perintahMu. Cahaya mataku mengabdi pada kerajaanMu, jika itu terserah kepadamu, aku tak akan berhenti menyembahmu, walau barang sesaatpun. Namun engkau telah membuatku tunduk kepada seorang makhluk, karena itu aku terlambat datang dalam beribadah kepadaMu. [13]
Tuannya melihat sebuah lentera tergantung diatas kepala Rabiah tanpa rantai yang cahayanya menerangi seluruh rumah ketika Rabiah tengah bermunajat. Seketika tuannya kembali ke kamarnya dan termenung hingga subuh tiba. Pada pagi hari ia membebaskan Rabiah dan memberikan pilihan untuk tetap tinggal atau pergi, dan Rabiah memutuskan untuk pergi.[14]
Setelah terbebas, ia melanjutkan kehidupannya sebagai seorang biduan. Dikatakan pula ia mahir memainkan seruling dan tergabung dalam suatu grup musik. Namun Rabiah tidak menari dan tidak pula bermain cinta.[15] Pekerjaan ini ditekuninya hanya sebatas untuk menyambung hidup. Hal ini pada satu sisi terlihat cinta pada dunia. Namun sisi lainnya Rabiah ingin mengabdi pada Allah. Tak lama kemudian ia melepaskan pekerjaan tersebut.      
3.    Masa Dewasa
Sesuai keputusannya untuk mengabdi kepada Allah, dalam kesehariannya ia hanya sibuk dengan ibadah. Tahajudnya berakhir saat subuh menjelang. Pada fase ini, hatinya tidak tergoda lagi oleh dunia. Dalam hatinya hanya ada rasa untuk beramal dengan tujuan ridla ilahi. Bahkan selama 40 tahun ia tidak menghadapkan wajahnya kelangit karena malu kepada Allah.[16]
Kezuhudannya sampai pada pilihan untuk tidak menikah. Ia terkenal sebagai wanita yang cantik dan menarik. Lamaran dari Abdul Wahid Ibnu Ziyad, orang yang terhormat dan berpengaruh pada waktu itu ia tolak dengan perkataan “Hai orang yang bersyahwat, carilah orang yang sepadan dengan engkau”. Demikian juga dengan Muhammad Sulaiman al-Hasyimi, seorang Amir Basrah yang menawarkan mahar 100.000 dirham ia tolak dengan perkataan “seandainya engkau memberi seluruh warisan hartamu, tidak mungkin aku memalingkan perhatianku dari Allah padamu”.[17]
Alasan tentang prinsip Rabiah yang tidak menikah tidaklah asing didengar. Alasan inilah yang diajukan oleh Rabiah pada laki-laki yang melamarnya. Ada tiga alasan yang dikemukakan Rabiah tentang penolakannya untuk menikah, yaitu:[18]
1.         Saat meninggal dunia, akankah ia menghadap Allah dalam keadaan iman, suci atau tidak ?
2.         Saat menerima catatan amal, tangan mana yang akan menerimanya, kanan ataukah kiri ?
3.         Ketika hari kebangkitan, apakah ia termasuk golongan kanan yang masuk surga atau golongan kiri yang masuk neraka ?
Pertanyaan diatas tentu bukan ranah manusia sebab itu adalah bentuk kuasa Allah. Alasan lainnya adalah ia takut tidak dapat berbuat adil untuk suami dan anaknya kelak sebab cintanya hanya tercurahkan pada Allah. Pilihannya untuk tidak menikah memang hampir sama dengan ajaran kependetaan yang tidak menikah. Namun ini dikembalikan pada hukum menikah yang awalnya adalah boleh atau dianjurkan.
Kembali kekeharibaan Allah dalam usia kira-kira 90 tahun, merupakan sebuah anugrah dari Allah untuk bisa menyebarkan perjalanan bathinnya pada orang lain. Sesaat sebelum kepergiannya, ia berkata “Wahai jiwa yang damai, kembalilah pada Tuhanmu dengan bahagia”. Hal ini sesuai dengan surat al-Fajr ayat 27-30.
        
C.  Kondisi Psikis dan Lingkungan
Sebagaimana dijelaskan pada pembahasan sebelumnya, Rabiah Adawiyah hidup dalam kondisi keluarga yang sufi, terutama didikan dari ayahnya. Sejak menjelang kelahirannya, ia telah dihadapkan akan sebuah pilihan yang bertolak belakang dengan konsep sufi ayahnya. Namun hal itu dapat dilalui dengan begitu baik.
Masa kecil yang dibiasakan untuk beribadah, kemudian kehilangan orang tua dalam usia muda, menjadi budak, hingga akhirnya lepas dari segala macam bentuk penderitaan adalah sebuah bentuk tekanan secara psikis. Namun Rabiah dapat melalui itu semua dengan rasa cintanya kepada Allah sehingga tidak ada sedikitpun rasa keluh kesah akan segala masalah yang dihadapi, melainkan menjadi sebuah motivator bagi ibadahnya.
Kondisi psikis yang demikian tentu menjadi sebuah tekanan tersendiri bagi manusia secara umum dan kaum wanita pada khususnya. Kondisi psikis memiliki dampak yang begitu besar bagi siapapun. Bagi Rabiah, segala macam bentuk tekanan psikis tersebut menjadi sebuah motivator bagi kegiatan ibadahnya.
Demikian halnya dengan kondisi disekitarnya. Basrah yang terkenal sebagai pusat ekonomi serta perkembangan ilmu pengetahuan tidak memiliki dampak apapun bagi Rabiah. Kebiasaan yang ditularkan ayahnya membuatnya tumbuh dengan cepat, menjadi dewasa dalam aspek pemikiran dan tingkah lakunya. Perilaku dan tindak tanduk penduduk Basrah pada waktu itu pun tidak sedikitpun mempengaruhi akhlak seorang Rabiah, apalagi dalam hal kualitas peribadatannya.        


BAB III
KONSEP MAHABBAH

A.  Pengertian
Rabiah tidak mendefiniskan tentang konsep Mahabbah. Ia hanya mendeskripsikan tentang Mahabbah. Namun Prof. Dr. Hamka menyebutkan bahwa Mahabbah yang dibawa oleh Rabiah adalah sebuah penyempurnaan dari bentuk Zuhud yang ditawarkan oleh Hasan al-Bashri, yakni khauf dan raja’.[19] Rabiah kemudian menyempurnakannya menjadi Mahabbah, konsepsi yang menyatakan bahwa tidak ada harapan apapun dari bentuk cinta kepada Allah.
Dalam perkembangannya, Mahabbah yang diprakarsai oleh Rabiah adalah sebuah suluk untuk menuju ma’rifatullah, sebuah posisi yang paling tinggi dalam tingkatan iman kepada Allah. Deskripsi tentang Mahabbah yang dibawa oleh Rabiah adalah sebuah metode suluk yang mengedepankan cinta sebagai sebuah jalan untuk menuju Allah. Mahabbah yang dibawa oleh Rabiah bukanlah Mahabbah dalam konteks kemanusiaan, namun konteks ketuhanan.
  
B.   Teori Konsep Mahabbah
Dalam perjalanan rohani yang dilalui oleh Rabiah, ada beberapa tahapan yang perlu untuk diketahui hingga Rabiah mampu meraih cinta ilahi yang didambakan oleh setiap muslim. Tasawuf mengenal empat macam gradasi dalam termnya tersendiri, yaitu syari’at, thariqat, hakikat dan ma’rifat. Keempat macam tingkatan ini tentu telah dicapai oleh Rabiah sehingga ia dan cintanya hanya tertuju pada Allah semata.
Syari’at telah dilalui dengan sangat baik pada masa kecil hingga remaja. Kemudian tingkat thariqat hingga hakikat ia lalui pada masa dewasa hingga menjelang masa tuanya. Tingkat ma’rifat ia capai setelah ia benar-benar memutuskan untuk meninggalkan hingar bingar dunia dengan rasa cintanya kepada Allah yang tak terbendung.
Konsep Mahabbah Rabiah memiliki stressing pada kata cinta. Cinta menurut Rabiah adalah perasaan kemanusiaan yang amat luhur, amat mulia dan agung, cinta yang dapat mengatasi hawa nafsu yang rendah, cinta yang dilandasi iman yang tulus ikhlas sehingga mampu membawa derajat manusia menuju ridla ilahi.[20] Makin dalam cinta seseorang maka seakan-akan tidak ada lagi ruang untuk cinta yang lain kecuali hanya untuk Allah.
Manusia secara lahiriah tentu memiliki rasa rindu. Ada yang biasa dan ada pula yang menggebu-gebu. Manusia mengungkapkan rasa rindu tentu dengan berbagai cara. Saat ini begitu banyak media yang digunakan untuk melampiaskan rasa rindu. Rabiah mengungkapkan kerinduannya pada Allah dengan membuat syair-syair yang begitu indah pada Allah. M. Iqbal mengatakan, hanya rasa rindu yang mampu memancing kreatifitas seseorang untuk mencipta hal-hal yang indah, termasuk juga syair-syair yang telah diciptakan oleh rabi’ah.[21]

C.  Aplikasi Konsep Mahabbah
Langkah awal Rabiah dalam mengarungi dunia adalah dengan Zuhud, sebagaimana yang dialaminya saat ia akan lahir, Ismail sang ayah yang tidak mau meminta minyak untuk penerangan rumahnya ketika Rabiah akan lahir. Ismail hanya berharap bantuan Allah, bukan dari manusia. Kemudian Rabiah kecil yang tidak pernah menuntut apapun yang bersifat keduniawiaan pada keluarganya. Terlebih ayahnya selalu mengajak Rabiah untuk selalu beribadah tanpa menghiraukan masalah keduniawiaan.[22]
Benih-benih Zuhud yang telah tertanam pada Rabiah sejak masa kecilnya sedikit demi sedikit berkembang hingga ia mampu mengontrol keduniawiaannya. Namun sebagaimana manusia lainnya ia juga melalui proses ibadah (syariah) sebelum ia mencapai tingkatan Zuhud. Proses-proses yang dilalui pada masa Zuhud mengantarkannya pada tingkat ridla yang kemudian berakhir pada tingkat hubb ilallah atau Mahabbah Fillah.[23]
Melihat teks diatas, maka aplikasi konsep Mahabbah yang diciptakan oleh Rabiah membutuhkan sebuah pembiasaan. Mencintai tidak semudah mengatakan aku cinta, tapi harus melalui beberapa tahapan sehingga saat mengatakan aku cinta tidak ada lagi tendensi dari hal apapun kecuali cinta yang tulus kepada Allah. Cinta yang timbul sebagai akhlak, bukan sebagai etika.
Apabila ibadah yang telah dilaksanakan berjalan dengan baik, maka rasa kerinduan pada Allah akan muncul secara otomatis ketika seseorang berada dalam keadaan jatuh cinta pada Tuhannya. Perasaan cinta yang ada tidaklah memiliki konsekuensi apapun atau tendensi apapun kecuali hanya sebuah bentuk kepasrahan pada Allah atas segala cinta yang dimiliki.
D.  Kiat-Kiat Mencintai Allah
Abdul Mustaqim dalam bukunya “Akhlaq Tasawuf; Jalan Menuju Revolusi Spiritual” mengungkapkan ada tiga hal yang perlu ditempuh untuk mendapatkan cinta ilahi.[24] Pertama , menumbuhkan cinta dengan benar-benar beriman kepada Allah. Cinta akan tumbuh dari rasa percaya (iman) sebagai benih dari cinta tersebut.
Kedua, ma’rifatullah dengan sebenar-benar ma’rifat. Saat seseorang benar-benar tahu akan kekuasaan Allah, maka secara refleks peribadatannya akan mengalami peningkatan baik dari aspek kualitas maupun kuantitas. Ketiga, menebarkan cinta secara vertikal sehingga secara horizontalpun akan muncul dengan sendirinya.
BAB IV
PENUTUP

A.  Penutup
Setiap manusia tentu ingin bertemu dengan Tuhannya, sebagaimana yang telah dilalui oleh Rabiah. Bertemu dengan Tuhan bukanlah hal yang mudah, melainkan harus melalui beberapa tahap hingga ia mencapai ma’rifatullah, sebuah gradasi tertinggi dalam tingkatan iman seseorang setelah ia melalui gradasi syariah, thariqat dan hakikat.
Rabiah mencapai tingkatan ma’rifat dengan Mahabbahnya, sebuah metode menuju ilahi dengan mencintai Allah tanpa mengharap apapun dari perasaan cintanya kepada Allah. Manusia, jika mencintai sesuatu atau seseorang tentu mengharapkan adanya timbal balik dari sesuatu atau seseorang yang dicintainya. Jika ia mencintai seseorang, tentu ia ingin yang dicintainya memberikan cintanya kepada dirinya. Tapi hal ini tidak berlaku bagi seorang Rabiah yang tidak menginginkan apapun dari rasa cintanya kepada Allah.
Memaknai cinta tidak bisa hanya dilihat dari satu sisi saja. Cinta yang murni tidak memperdulikan segala hal yang ada disekitarnya. Sebenar-benar cinta adalah kesediaan untuk memberi, bukan keinginan untuk menerima, kesediaan untuk memahami, bukan untuk dipahami, kesediaan untuk berkorban bukan menanti pengorbanan. Demikianlah cinta yang ingin diungkapkan oleh Rabiah kepada generasi setelahnya untuk mencapai hubb ilallah.
  
B.   Kesimpulan
Paparan diatas setidaknya memiliki beberapa poin penting, diantaranya:
1.      Konsep Mahabbah yang diprakarsai oleh Rabiah al-Adawiyah adalah sebuah proses menuju cinta ilahi yang sebenar-benar cinta, yang tidak ada cinta apapun kecuali hanya cinta kepada Allah, dzat yang paling pantas untuk menerima cinta yang murni tanpa ada tendensi apapun.
2.      Konsep Mahabbah Rabiah al-Adawiyah adalah puncak dari pengungkapan cinta ilahi, yakni cinta yang tidak menuntut apapun dari yang dicintai, menghamba pada yang dicinta, pasrah terhadap segala hal yang telah diberikan kepada yang dicintai.
3.      Rabiah al-Adawiyah melalui beberapa tahapan untuk menuju Mahabbah fillah, dari proses ibadah, Zuhud hingga ia duduk pada maqam ma’rifat dengan Mahabbah Fillah yang ia ciptakan melalui pengalaman rohaninya.
4.      Mahabbah Fillah yang sebenarnya adalah keadaan seseorang yang sangat rindu akan kehadiran Allah disetiap waktunya. Kerinduan yang dialaminya adalah dampak dari rasa cintanya kepada Allah, seakan-akan tidak ada waktu kecuali hanya untuk beribadah kepada Allah. Hanya Allah yang menjadi tujuan hidupnya.



DAFTAR PUSTAKA

al-Aththar, Fariduddin.Tadzkirah al-Auliya’.Terj. Anas Mahyuddin.Bandung: Pustaka. 1983
Hamka, Prof. Dr.Tasauf; Perkembangan dan Pemurniannya.Jakarta: PT Pustaka Panjimas.1984
Hassan Shadily dkk.Ensiklopedi Indonesia Jilid 6.Jakarta: Ichtiar Baru-van Hoeve.1984
Khamis, Muhammad Athiyah.Rabiah el-Adawiyah: Penyair Wanita Sufi.Terj. Drs. Aliyuddin Mahjudin, M.A.Jakarta: Pustaka Firdaus.1994
Mustaqim, M.A, Abdul Dr. H.Akhlaq Tasawuf; Jalan Menuju Revolusi Spritual. Yogyakarta: Kreasi Wacana.2007
Smith, Margareth, M.A., Ph.D.Rabiah Pergulatan Spiritual Perempuan.Terj. Dra. Jamilah Baraja.Surabaya: Risalah Gusti.1999
Sururin, M.Ag,,Rabiah al-Adawiyah Hubb al-Ilahi; Evolusi Jiwa Manusia Menuju Mahabbah dan Makrifah.Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.2000


[1]   Prof. Dr. Hamka, Tasauf; Perkembangan dan Pemurniannya, (Jakarta: PT Pustaka Panjimas, 1984), hlm. 45-54
[2]   Dalam perkembangannya, suluk lebih diartikan sebagai bentuk perjalan rohani seseorang untuk menuju ma’rifatullah
[3] Margareth smith, m.a., p.hd, Rabiah pergulatan spiritual perempuan, terj. Dra. Jamilah baraja, (Surabaya; risalah gusti, 1999), hlm. 3
[4] Hassan Shadily dkk., Ensiklopedi Indonesia, Jilid 6, (Jakarta: Ichtiar Baru-van Hoeve, 1984), h.2819. Sedangkan menurut A. Hafizh Dasuki dkk., loc. cit., Rabi’ah binti Isma’il al-Adawiyyah al-Qissiyah, Harun Nasution dkk., loc. cit., Rabi’ah binti Ismail al-Adawiyah al-Basriyah, Abu al-Wafa` al-Ghanimi al-Taftazani, terj. Ahmad Rofi’ ‘Utsmani, Sufi dari Zaman ke Zaman, (Bandung: Pustaka, 1406 H/1985 M, h. 82, Ummul Khair Rabi’ah binti Isma`il al-Adawiyyah al-Qisiyyah.
[5] Sururinn, M.Ag, Rabiah al-Adawiyah Hubb al-Ilahi; Evolusi Jiwa Manusia Menuju Mahabbah dan Makrifah, (Jakarta: pt raja grafindo persada, 2000) hlm. 4
[6] Sururinn, hlm 4
[7] Margaret Smith, M.A., Ph.D, Rabiah Pergulatan Spiritual Perempuan, Terj. Dra. Jamilah Baraja, (Surabaya: Risalah Gusti, 1999) hlm 6. Isa Zadan adalah amir yang selalu membaca shalawat sebanyak 400 kali setiap malam Jumat. Namun waktu itu ia alpa dan Nabi SAW mengisyaratkan untuk membayar kafarat kepada ayah Rabi’ah.
[8] Sururin, hlm 22
[9] Muhammad Athiyah Khamis, Rabiah al-Adawiyah; Penyair Wanita Sufi, Terj. Drs. Aliudin Mahjudin, MA. (Jakarta: pustaka firdaus, 1994) hlm.9
[10] Sururin, hlm. 26
[11] Sururin, hlm 27
[12] Fariduddin al-Aththar, Tadzkirah al-Auliya’, Terj. Anas Mahyuddin, (Bandung; Pustaka, 1983), hlm. 50
[13] Sururin, hlm. 35. Lihat juga al-Aththar, hlm 51 dan Athiyah hlm. 18-19.
[14] Sururin, hlm. 35
[15] Sururinn, hlm. 36
[16] Sururin, hlm. 39
[17] Sururin, hlm. 39
[18] Al-Aththar, 90
[19] Hamka, hlm. 79
[20] Muhammad athiyah khamis, Rabiah el-Adawiyah; penyair wanita sufi, terj. Drs. Aliyuddin mahjudin, ma, (pustaka firdaus, 1994), hlm. 53
[21] Sururin, hlm. 50
[22] Suatu ketika saat Rabiah dan keluarganya akan makan, Rabiah menatap ayahnya seakan bertanya akan makanan yang terhidang. Rabiah berkata pada ayahnya, bahwa ia tidak mau makanan yang haram. Ayahnya bertanya pada Rabiah, bagaimana jika nanti yang ada hanya makanan yang haram ?, Rabiah pun menjawab; lebihbaik kita menahan lapar di dunia ini daripada menahannya nanti dineraka. Inilah langkah awal sejak kecil seorang Rabiah untuk Zuhud. Athiyah, hlm. 8
[23] Sururin, hlm. 48-49
[24] Dr. H. Abdul Mustaqim, M.A, Akhlaq Tasawuf; Jalan Menuju Revolusi Spritual, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2007), hlm. 19-21